← Back

Review Cerpen 'Pemesan Batik' karya Muna Masyari

Cerpen “Pemesan Batik” karya Muna Masyari dikemas secara ciamik dan rapi. Dari sudut pandang saya, saya mengambil kesimpulan bahwa cerpen ini mengusung tema sosial. Fakta-fakta yang menjelaskan bahwa cerpen ini bertema sosial ialah adanya aspek yang ditonjolkan, yaitu, hubungan antar-manusia yang dikisahkan antara si perempuan pembatik dengan masa lalunya yang berkesinambungan dengan si lelaki pemesan batik dengan calon masa depannya. Jelas ditemukan pada kalimat di baris-baris terakhir,

“Sebentar lagi, begitu pemesan batik itu datang sesuai perjanjian, ia akan melipat kain batiknya dengan rapi, dan memasukkannya ke dapam peti mungil terbuat dari kayu jati. Ia akan mengajak pemesan batik itu ke Pantai Jumiang, dan melarungkan peti kecil berisi segala dendam dan amarah itu ke lautan.”

bahwa si perempuan pembatik memiliki andil dalam kelanjutan kisah cerita si lelaki pemesan batik. Akankah pembalasan dendamnya dapat tersampaikan dengan tangannya sendiri atau justru ia akan mengajaknya melepas dendam dan membiarkan semesta yang mengambil alih.

“Biarlah pengkhianatan menjadi urusan semesta. Kelak, ia akan menemukan muaranya sendiri. Kembali pada yang memiliki.”

Muna–dalam tulisannya, menampakkan begitu jelas alur dan suasana pada adegan demi adegan yang terjadi. Muna menggambarkan keadaan damai, kedamaian hidup si perempuan pembatik dengan segala pekerjaannya, diperjelas dengan kalimat-kalimat berikut:

Saat menggarapnya, ia pun memilih nuansa pagi ceria di bawah rindang pohon lengkeng tua….”

“Dituntun suara yang memantul dari palung paling rahasia”

“Di luar, jerit jangkrik beradu dengan desah gesekan daun pisang”

Ada juga beberapa penggambaran perasaan sedih yang carut-marut, dalam kalimat,

”Sarang laba-laba dan wang-sawang bersekutu. Ranjang dan seprai berlapis debu. Di kamar itu, langut dan kemelut saling pagut.”

Kalimat itu menceritakan bahwa ada sebuah ruang yang telah lama tidak ia datangi–buka, karena ruang itu memberi kenangan yang amat buruk baginya. Kemudian ketika ia membuka ruangan itu, ia merasakan emosi itu kembali pada dirinya:

“…ia pun terpaksa menyepuh kenangan demi merasakan kemarahan yang sama dengan apa yang dirasakan pemesan…”

Dan juga pada cerita ketika ia menemukan suaminya berselingkuh,

“Akan tetapi, begitu dibuka, petir di luar serasa menyambar tepat di atas kepala..”

Kemudian pada suatu petang, yang digambarkan melalui kalimat,

“Akan tetapi, pemesan batik itu datang suatu senja, ketika matahari tak lagi jelita.”

Semua kejadian itu terjadi di satu tempat, rumah si perempuan pembuat batik.

Tahapan alur yang terjadi pada cerpen tersebut adalah sorot balik. Dimulai dari datangnya seorang lelaki berkulit legam dan berkumis tebal yang datang ingin memesan batik kepada si perempuan pembuat batik. Ia datang dengan amarah yang meletup-letup, kemudian mengatakan maksudnya untuk dibuatkan batik sebagai pembalasan dendam. Awalnya si perempuan pembatik menolak permintaan itu–karena ia tidak ingin turut serta dalam hal hal dendam-mendendam. Terbukti dari kalimat,

“Semula ia menolak begitu mencium anyir kemarahan dan dendam dari mulutnya. Ia idak mau campur tangan perkara dendam.”

Namun, setelah lelaki itu berkata,

“…..Dia yang memaksaku bekerja ke Malaysia untuk beli gelang dan kalung. Sepergianku, di belakang malah main serong!”.

Akhirnya, ia menerima pesanan itu. Karena ia merasa seperti kilas balik (flashback). Ia pernah menjumpai hal yang sama seperti lelaki pemesan batik itu beberapa tahun silam. Dijelaskan kembali pada kalimat berikut,

“….kejadian malam laknat itu terpampang seupa lembar-lembar foto tua dalam album hitam….Di bawah langit kelam dan deru angin kencang, saat pulang dari rantau…”

Muna menggambarkan tokoh dengan sangat hati-hati dan teliti dengan cara dramatik, melalui pemaparan pada setiap dialog dan perbuatan tokoh. Dari sudut pandang saya, si perempuan pembatik adalah pribadi yang totalitas dan perfeksionis akan pekerjaannya maupun hidupnya, dengan adanya fakta bahwa si pembatik selalu menaruh hati dan seluruh jiwanya dalam membatik untuk memenuhi permintaan para pemesan. Seperti pada sebuah kalimat yang ada dalam cerpen,

Sebagai pembatik yang biasa menerima pesanan khusus, bagi perempuan itu, corak, warna, dan motif batik buatannya merupakan kesatuan rasa dan jiwa pemesan”.

“Tak jarang ia melakukan tapapuasa demi menghasilkan karya yang smepurna.”

Dan juga pada sebuah kalimat,

”Memancing rasa yang menjalar dari palung dada. Mengaktifkan sinyal di dadanya sendiri seperti tangan seorang ibu ketika menyentuh buah hati.” Terdapat kalimat seperti seorang ibu ketika menyentuh buah hati, yang berarti dalam menyentuh canting, mencelupkannya pada malam kemudian menggoreskannya pada kain, penuh kehati-hatian, penuh kasih sayang, dan selalu ingin memberi rasa aman.

Ia juga digambarkan sebagai sosok yang kreatif, dibuktikan dengan adanya kalimat,

“Batik buatannya tidak berkutat pada motif dan corak yang sudah dipatenkan sebagai batik Madura, seperti batik Sagarah, Gentongan, Kembhang Saladri, Kerraban Sape, Mo’-ramo’ dan lainnya. Ia membatik dengan menyatukan imajinasi dan jiwa.”

Sedangkan laki-laki si pemesan batik, tidak begitu jelas penggambarannya, yang saya tangkap, dia adalah sosok yang sebenarnya berhati bersih, kemudian karena dikhianati oleh kekasihnya, ia jadi kalut dan ingin membalas dendam karena merasa malu telah dibodohi kekasihnya. Seperti perkataannya pada kalimat,

Etembhang pote mata lebbi bhagus pote tolang! yang artinya, daripada merasa malu lebih baik mati.

Muna Masyari lagi-lagi memaparkan kaitan cerpen dengan budaya secara gamblang tapi tidak terkesan berlebihan. Dari cerpen ini saya sedikit mempelajari tentang budaya Madura. Tambah lagi, dalam cerpen tersebut menceritakan bahwa batik sesungguhnya bukanlah hanya sekadar pakaian, motif, maupun fashion, namun, juga dapat menjadi sarana pengirim pesan yang mangkus.